Salah satu kata yang sulit dikatakan sebagian remaja adalah ”maaf”. Terlebih apabila harus diikuti kalimat ”Saya bersalah dan siap menerima konsekuensinya”. Kenapa? Sebab, sejak kecil mereka terbiasa diperlakukan orangtua sebagai pihak yang tak patut disalahkan.
Coba kita amati, masih sering orangtua menyalahkan meja yang jelas-jelas benda mati saat anak balitanya berlari, menabrak meja, dan kesakitan. Orangtua tak mengingatkan anaknya agar lebih berhati-hati. Jika kejadian itu berulang, maka dalam benak si anak akan tumbuh kesadaran, saat ia sakit atau menderita, itu bukan kesalahannya. Pasti ada pihak lain yang bisa disalahkan.
Anak yang dididik dengan gaya seperti itu cenderung pintar berdalih. Mereka tak terlatih menanggung risiko, bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia cenderung melempar kesalahan.
Mungkin karena itulah sebagian siswa berusia remaja menjadi kurang bertanggung jawab. Apalagi sebagian orangtua suka ”meninabobokan” anak dari tanggung jawab menerima risiko.
Contoh, suatu pagi ada siswa yang menabrak mobil orang lain. Pemilik mobil datang ke sekolah, meminta pertanggungjawaban. Siswa itu mengakui kejadian tersebut. Konsekuensinya, sekolah tak mengizinkan siswa membawa mobil dan wajib membayar ganti
rugi kepada pemilik mobil.
Namun, jangankan mengingatkan anaknya agar berhati-hati, orangtua siswa justru mengatakan, ”Jangan salahkan anak saya, tetapi salahkan saya yang tidak sempat mengantar anak ke sekolah.”
aturan sekolah
Di Saint John’s Catholic School BSD, Tangerang Selatan, Banten, kami berusaha menjadi komunitas pembelajaran yang menghadirkan nilai inti R3IGHT: Respect, Responsibility, Resilience, Integrity, Generosity, Harmony, Truth. Nilai-nilai itu diberikan lewat pendidikan agama, kewarganegaraan dan Pancasila, pengembangan kepribadian mingguan (seperti seminar), dan kegiatan tahunan seperti bakti sosial, orientasi sekolah, dan latihan dasar kepemimpinan.
Pada program Behavior Management Policy yang menjadi dasar peraturan siswa, misalnya, wali kelas memiliki catatan perilaku siswa yang dilaporkan kepada wakil kepala sekolah bidang penanganan disiplin. Pada awal tahun ajaran, seluruh komunitas sekolah, termasuk orangtua siswa, bersepakat menjalankan aturan sekolah.
Aturan itu dibuat jelas terutama mengenai konsekuensi, dilaksanakan dengan konsisten, dan bersifat pendampingan. Misalnya, siswa yang datang terlambat tiga kali dalam satu semester, salah satu konsekuensinya harus pulang lebih lambat karena diberi tugas menulis refleksi atau datang lebih pagi untuk membantu guru piket pagi. Kalau keterlambatan tetap berulang, siswa dikirim ke salah satu panti sosial untuk melakukan refleksi pribadi di bawah observasi pembimbing. Jika itu juga tak membuat siswa bertanggung jawab, dia diminta mencari lingkungan belajar lain karena peraturan sekolah ini tak sesuai untuk dia.
Kegiatan lain untuk mengembangkan tanggung jawab siswa adalah Outreach. Siswa melakukan bakti sosial seperti di perkampungan Baduy, menanam bakau di Bekasi, atau membantu menjadi tenaga pengajar di sekolah berkebutuhan khusus. Mengalami berbagai tantangan membuat siswa memahami pentingnya tanggung jawab.
tak tersalurkan
Pengembangan karakter di Saint John’s Catholic School BSD berlangsung sejak tahun 2010. Ketika itu ada beberapa kenakalan siswa karena keingintahuan atau keisengan mereka tak tersalurkan. Sanksi yang cenderung fisik, seperti berdiri di lapangan selama beberapa waktu, tak menyentuh hati siswa. Untuk menumbuhkan tanggung jawab siswa, kata ”hukuman” diganti ”konsekuensi” dan dibarengi pendampingan.
Setelah dijalankan selama 3-4 tahun, tingkat pelanggaran oleh siswa berkurang sekitar 60 persen. Selain itu, ketika guru memanggil siswa yang melanggar, umumnya mereka mengakui kesalahan dan menerima konsekuensi sesuai kesepakatan.
Tidak hanya konsekuensi karena perilaku negatif, ada pula konsekuensi positif yang diberikan kepada siswa, antara lain, berupa pemilihan Student of the Month, Class of the Month, Student of the Year, dan Class of the Year.
Hasil wawancara kami dengan siswa menunjukkan, umumnya siswa tahu ada tanggung jawab yang harus dipikul sebagai konsekuensi perilaku mereka. Namun, sebagian siswa merasa tak enak hati apabila diminta mengingatkan teman yang kurang bertanggung jawab. Mereka takut dianggap kepo dan dijauhi teman (peer pressure). Siswa cenderung meminta pihak ketiga sebagai asilitator, misalnya wali kelas.
Untuk mengembangkan karakter tanggung jawab siswa, sekolah dan orangtua harus bekerja sama, sepakat, dan konsisten. Orangtua sebaiknya tak membiarkan asisten rumah tangga untuk mengerjakan seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab anak. Sebagian orangtua pun sering membela anak secara membabi buta. Ini yang memunculkan kondisi ”anak yang jawab, orangtua yang tanggung”.
ALVINA
Edutainer Saint John’s Catholic School BSD,
Tangerang Selatan,
Banten